Jumat, 27 Januari 2017
Kamis, 10 November 2016
Rambutku Hanya Dipotong Olehmu
RAMBUTKU HANYA DIPOTONG OLEHMU
I Nyoman Buda
Arimbawa
“Man…
man… payu?”. Pagi-pagi
sekali Gede Judi mendatangi rumah temannya dan memanggilnya dengan suara sedang.
“mai nake jani, rage be ngabe gunting” sahut I Nyoman dengan logat
kedaerahan yang kental yang datang dengan sebuah ember yang lengkap dengan
peralatan mandi ditambah sisir dan gunting. “medaar
malu De, ento ade jukut be siap..!”. Sapa memene I Nyoman yang menawarkan Gede Judi untuk makan. “Nah..!” sahut Gede Judi, yang
sesungguhnya itu adalah penolakkan secara halus. Tanpa berlama-lama mereka langsung menuju
rumah Gede Judi yang letaknya satu jalur dan satu tempek dengan rumah I Nyoman. Pagi itu juga kakak I Nyoman berangkat bekerja ke
kota. Tepat kemarin malam mereka datang dari setra mengikuti upacara ngaben karena tetangga I Nyoman meninggal
kemarin sore.
Mereka telah sampai di rumah Gede
Judi. Terlihat pekaknya I Nyoman ngempu kumpinya
yang baru bisa merangkak. Terdengar dari kejauhan “pidan mulih man…?” tanya Wa Sunia kepada I Nyoman. Wa Sunia adalah
kakak dari bapaknya I Nyoman yang menikah ke rumah Gede Judi jauh sebelum I
Nyoman lahir. “be i telun wa..!”
sahut I Nyoman. Gede Judi langsung membuka bajunya, membasahi rambut yang
panjangnya sebahu dan duduk di tangga meten
daja. “sepedang De?” tanya I Nyoman dengan
gunting di tangan kanan dan sisir di tangan kirinya. “Engkenang dadi, terserah keneh
nyomane..” sahut Gede Judi pasrah. I Nyoman pun mulai memangkas rambut Gede
Judi yang terakhir kali juga dipangkas oleh I Nyoman sendiri sekitar sembilan
bulan yang lalu. Gede Judi
membiarkan rambutnya tumbuh sampai seleher. Seolah-olah ia tidak mengijinkan
orang lain memotong rambutnya selain I Nyoman.
Gede Judi adalah nama panggilan dari I
Gede Eka Saputra. Dipanggil Gede Judi lantaran ayahnya adalah seorang penjudi
berkelas pada masanya. Sejak kecil ia tinggal bersama keluarga kecilnya dengan
seorang adik yang dipanggil Kadek Togel. Nama aslinya adalah Kadek Riki. Hidup
dengan suami seorang penjudi membuat ibunya Gede Judi serba kesusahan. Sang
suami sering marah-marah kalau uangnya habis karena kalah di arena tajen. Tak jarang ibunya Gede Judi
dipukul dengan benda-benda keras dan tajam. Dengan hati dan pikiran yang
terluka, sang ibu pun tega pergi dari rumah meninggalkan anak-anak dan suaminya
yaitu Gede Judi yang masih duduk di bangku kelas 2 SD dan Kadek Togel yang baru
berumur 4 tahun serta sang suaminya Wayan Neraka yang terselubung dalam kabut
penyesalan yang sangat dalam.
Dua bersaudara itu akhirnya dititip oleh
ayahnya kepada sang kakek di sebuah desa di pedalaman kintamani. Gede Judi
bilang desa itu bernama desa Panggung. Bertahun-tahun ia menjalani hidup disana,
sehingga ia menjadi terbiasa dengan kegiatan harian masyarakat setempat. Ngalap cengkeh, cokelat, delima, dan berbagai
jenis tanaman kebun lainnya. Ia juga melanjutkan pendidikan sekolah dasarnya
disana. Konon ia adalah bintang kelas sepanjang masa. Sejak mengikuti
pendidikan di Taman Kanak-kanak ia memang dikenal sebagai siswa cerdas dan
menjadi juara kelas saat kelulusan. Ketika SD ia masih kalah dengan teman
sebangkunya yakni I Nyoman sendiri. Otaknya sedikit unggul secara numerik,
namun ia kalah telak dengan kemampuan verbal yang dimiliki I Nyoman yang tidak
mengenyam pendidikan Taman Kanak-kanak. Ia tak mampu berimajinasi dan tak mampu
menjiwai seni.
Setelah empat tahun, ia kembali. Pulang
ke rumah asalnya. Ia berbeda, lingkungan tempat ia tinggal selama ini telah
mengubah mental dan cara berpikirnya. Ia telat dibandingkan anak-anak lainnya.
Kemampuan komunikasinya sama sekali tak terlihat, ia hanya bisa diam dan
menjawab pertanyaan dengan tidak jelas. Ia hanya bicara kepada teman sebaya
yang memang akrab dengannya dari dulu termasuk I Nyoman. Ia kembali melanjutkan
pendidikannya di Sekolah Dasar yang dulu, tempat ia bersekolah waktu kelas 1.
Sekarang sudah kelas 5 SD. Kemampuannya tak seperti yang diharapkan. Ia
terlihat lemah. Sangat lemah. Entahlah apa penyebabnya, apakah tekanan mental
karena lingkungan baru, atau mungkin kualitas pendidikan yang berbeda dari tempat
tinggalnya di daerah kintamani itu, atau
tekanan dari orang tuanya, tidak ada yang pernah tahu. Karena tak seorangpun
dapat mendengar ceritanya dengan jelas dan tepat.
Beberapa tahun kemudian sang adik
menyusul pulang. Ia kembali dan melanjutkan sekolah di tempat yang sama dengan
kakaknya. Gede Judi sudah lulus dari sekolah dasar begitu juga dengan I Nyoman.
Sekarang mereka akan melanjutkan bersekolah di sebuah sekolah menengah di desa
sebelah yaitu desa Susut. Dari awal
pendaftaran sampai resmi menjadi siswa mereka selalu bersama, melewati sungai,
jembatan, dan kebun salak milik Wa Sunia dan warga desa setempat, mereka
berjalan kaki menuju sekolah tempat mereka menuntut ilmu. Mereka tak peduli dan
tak terpengaruh dengan teman-temannya yang mengendarai sepeda motor, mereka
tidak pernah malu akan ketidakmampuan mereka, karena mereka adalah orang-orang
optimis untuk meraih mimpi. Mereka mengawalinya bersama, dan menjalaninya
bersama pula. Tak jarang mereka berbagi bekal yang mereka bawa. Mereka sering
telat sampai di sekolah. Banyak hal yang ia lakukan di tengah perjalanan menuju
sekolah layaknya anak-anak pada masanya. Mereka sering mencari buah durian yang
telah jatuh dari pohonnya, mencari salak ataupun cokelat di pinggir jalan yang
mereka lalui. Entah itu bentuk dari pencurian atau tidak, tidak ada yang pernah
mempermasalahkannya.
Gede Judi punya masa lalu yang kelam. Dulu bersama adiknya ia sering mencuri
uang di warung-warung dekat rumahnya. Maklum, tak ada yang memberi mereka
perhatian dan kasih sayang. Tidak ada yang memberinya pendidikan moral dan
melatih mentalnya. Ayahnya masih sibuk bekerja sebagai tukang ukir di tempat
yang jauh dari rumah. Memang benar adanya bahwa perhatian sang ayah terhadap
kedua anaknya tidak begitu besar.
Tiga tahun berlau, Gede Judi dan I Nyoman
telah lulus dari sekolah menengah pertama mereka. I Nyoman melanjutkan ke
sebuah sekolah layanan khusus yang menerima siswa dari keluarga kurang mampu.
Namun sebaliknya, karena minimnya dukungan dari orang tua dan terkendala
keadaan ekonomi, Gede Judi tidak mampu melanjutkan pendidikannya ke tingkat
sekolah menengah atas. Ia memutuskan untuk belajar bekerja sebagai tukang ukir bersama
orang-orang di desanya. Banyak kenangan yang tersimpan dalam kebersamaan
mereka. Itulah yang membuat mereka tak bisa lupa satu sama lain.
Tak terasa sudah sekitar satu jam
berlalu, rambut Gede Judi yang panjang dan tak beraturan membuat I Nyoman perlu
waktu lama untuk membuatnya pendek dan rapi. Pekak I Nyoman datang menghampiri mereka, “tolong
potongkan rambut pekak juga, sudah terasa panjang. Terakhir kali rambut pekak
dipotong oleh Nyoman tiga bulan yang lalu…!!”. I Nyoman langsung bergegas untuk
memotong rambut pekaknya. I Nyoman pulang ke rumah pada hari minggu, tepat tiga
hari yang lalu. Ia
bersekolah di Kubutambahan, Buleleng. Sudah dua tahun ia tinggal di asrama, di
Kubutambahan.
Sembari memotong rambut I Pekak, banyak
warga desa yang satu kawitan dengan
Wa Sunia sembahyang ke sanggah di
rumahnya Wa Sunia. Satu persatu mereka menyapa sambil menawarkan lungsuran. Hari ini adalah Galungan.
Entah apa yang I Nyoman pikirkan, secara tidak sengaja ia melukai kulit leher
pekaknya yang sudah keriput dan rawan. “Aduh, bakat
gunting kulit Pekak’e. pesu getih Kak.” Kata I Nyoman dengan penuh
penyesalan. “Nah sing kenken, kulit anak
suba tua” sahut I Pekak menenangkan cucunya. Tak terasa, hari sudah semakin
panas, seusai memotong rambut I Pekak, I Nyoman dan Gede Judi langsung bergegas
untuk meninggalkan rumah dan menuju ke tempat pemandian umum milik warga desa. Wa
Sunia memanggil Gede Judi dan menitip botol air mineral untuk diisi ulang.
Mereka berangkat, ke tempat yang penuh kenangan. Satu-satunya jalur yang selalu
mereka lalui saat SMP, kini bagaikan hutan belantara, rumput liar tumbuh menjulang,
sudah tidak ada lagi yang melalui tempat itu. Di sekitar tempat pemandian ada sungai
yang mengalir deras. Ya, sesungguhnya sungai itulah tujuannya.
Pasukan Terakhir
Pasukan
Terakhir
“Tiaraaaap!!
Berlindung di balik bebatuan!” teriak seorang kolonel yang bernama kolonel John
Reyligh kepada pasukannya. Suara
gencatan senjata api yang bergemuruh membuatku merasa ngeri, tapi aku tetap berlindung
dan membalas tembakan musuh sesuai dengan perintah pimpinanku. Di tengah
gelapnya medan pertempuran, aku berlari menuju ke tempat kolonel. Baru setengah
jalan, tiba-tiba sebuah peluru bersarang di kaki kananku. Aku terkapar di atas
medan perang yang berlumuran darah dan seketika itu pula, aku melihat peluru meriam
meledak tepat di tempat kolonel berlindung. Aku sangat terkejut dan berteriak,
“Tidaaaak!!”
Hah, ternyata semua
itu hanyalah mimpi burukku akibat bayang-bayang pertempuran besar lima hari
yang lalu di sebuah desa di pedalaman. Aku adalah seorang pasukan dari
sekelompok pejuang yang memperjuangkan tanah air dari belenggu penjajahan. Negaraku sudah berada dalam penjajahan semenjak
negara-negara besar mulai menjelajah dunia dan mencari daerah-daerah baru untuk
dimanfaatkan sumber alamnya, saat itu aku masih berumur enam tahun, tepat saat
aku mulai mengenyam pendidikan di sekolah tingkat dasar di desaku.
Ketika aku baru
berumur empat belas tahun aku dipanggil untuk mengenyam pendidikan kemiliteran
dengan anak-anak seumuranku. Negaraku krisis dalam segala hal sampai-sampai
menggunakan remaja seumuranku sebagai pasukan perang untuk bertempur melawan
penjajah. Selama kurang lebih empat tahun aku mengikuti pelatihan tersebut
sembari memperoleh pendidikan layaknya siswa sekolah menengah pertama atau
sekolah menengah atas.
Tidak
tanggung-tanggung, saat berumur dua puluh tahun aku sudah berpangkat sebagai
seorang letnan. Sebagai pemula tidak jarang aku ditugaskan oleh atasanku untuk
memimpin penggempuran terhadap pos-pos musuh di desa-desa. Sudah banyak pos-pos
musuh yang berhasil aku kalahkan bersama pasukanku.
Suatu hari, aku
memimpin sekitar empat puluh pasukan untuk melakukan penggempuran terhadap
pos-pos musuh di daerah pedesaan. Pasukan musuh sering menyiksa warga desa dan
memaksa mereka untuk melakukan pekerjaan sesuai keinginannya. Tidak sedikit
rakyat, terutama rakyat desa yang merasakan penderitaan karena kekejaman
tentara musuh. Aku beserta pasukanku berangkat sekitar pukul satu pagi. Dari
markas besar para pejuang yang terletak di daerah dataran tinggi, aku dan
pasukanku berjalan kearah tenggara sejauh delapan kilometer untuk mencapai desa
terdekat. Suasana desa tersebut sangat sunyi, tidak ada warga yang berani
beraktifitas, padahal hari sudah mulai terang, namun hanya suara hewan dan
pepohanan yang tertiup angin yang terdengar.
Sekitar pukul empat
pagi kami mulai berpencar dan mencari tempat masing-masing untuk melakukan
penyerangan sesuai dengan strategi yang telah kami rencanakan. Kami
mengelilingi sebuah pos pusat yang terletak di ujung timur desa, terlihat
puluhan tentara musuh yang berjaga di dalam bangunan yang terletak sekitar tiga
puluh meter di depan kami. Aba-aba penyerangan belum dimulai, namun keberadaan
kami sudah diketahui oleh musuh, karena musuh menggunakan anjing pelacak untuk
mencium keberadaan orang-orang yang
dekat dengan pos.
Tanpa ragu, aku
menembakkan senjataku kearah seorang pasukan yang sedang naik ke menara
pengintaian yang berada di depan pos, tembakkanku mengenainya, terlihat olehku
orang itu terjatuh dari tangga yang dipanjatnya. Pertempuran akhirnya meletus,
pasukanku yang terdiri dari empat puluh orang termasuk aku menggempur pos musuh
yang terdapat puluhan pasukan dengan persenjataan jauh lebih lengkap. Suara
gemuruh senjata api meramaikan suasana gelap yang sunyi itu. Hari sudah mulai
terang, cahaya matahari mulai terlihat di ufuk timur, pertempuran sudah semakin
reda, tembakkan kami sudah tak terbalas lagi, semua pasukan musuh sudah
terkalahkan, entah ada yang melarikan diri atau tidak, kami tidak tau pasti.
Kami mengambil semua senjata musuh yang tergeletak di tanah dan juga mengambil
makanan di pos mereka. Terhitung olehku sekitar tiga puluh tiga pasukan musuh
yang mati dalam pertempuran semalam, akan tetapi sebaliknya, tidak ada seorang
korbanpun di pasukanku, sebuah keberuntungan bagi kami bertempur di malam hari
karena kami terlatih untuk bertempur dalam suasana gelap.
Setelah setengah
perjalanan untuk kembali ke markas, kami menikmati makanan yang kami peroleh
dari musuh sambil berteduh di bawah pohon. Saat kami bergegas untuk melanjutkan
perjalanan kami, tiba-tiba empat mobil musuh yang mengangkut puluhan pasukan
dengan persenjataan lengkap datang ke arah kami, dengan segera kami mengambil
senjata dan mengambil posisi secara otomatis. Kami sangat panik, karena dari
arah berlawanan terlihat tiga mobil musuh dengan pasukan yang bersenjata
lengkap pula datang ke arah kami. Firasatku sangat buruk, kami sudah dikepung
dari segala arah, sudah dipastikan kami semua akan tertangkap.
Tanpa perlawanan dari
pasukanku, mereka menangkap kami dan membawa kami ke markas mereka. Tangan kami
diikat, senjata serta makanan kami diambil oleh mereka. Kami dimasukkan ke
sebuah rumah tahanan yang jaraknya sekitar lima belas kilometer dari markas
besar para pejuang. Teman-temanku dimasukkan ke dalam penjara, namun aku
sendiri di bawa ke sebuah ruangan yang cukup jauh dari tempat teman-temanku
berada. Markas itu sangat luas dan lengkap dengan persenjataan perang yang
canggih.
Di sebuah ruangan
yang cukup luas, mereka memaksaku untuk memberitahu keberadaan markas kami. Aku
tidak menjawab dengan sepatah kata pun, karena aku harus menjaga semua rahasia.
Beberapa saat kemudian salah seorang dari mereka membawaku keluar dari ruangan
itu. Aku keluar melalui lorong penjara tempat teman-temanku berada, sembari
melangkah aku menghitung jumlah mereka, entah apa yang terjadi jumlah kami yang
awalnya empat puluh orang kini hanya tinggal tiga puluh sembilan orang termasuk
aku.
Aku memikirkan hal
itu sepanjang jalan, hingga akhirnya aku tiba di sebuah lapangan luas, kalau
tidak salah itu adalah tempat eksekusi para tahanan. Tanganku diikat di sebuah
tiang yang berdiri tegak di tengah lapangan. Pasukan musuh datang
mengelilingiku dengan membawa senjata. Seorang pemimpin dari mereka mendekat ke
arahku dan berbicara dengan bahasa negaraku, “Kamu harus dihukum mati, karena
kamu dan pasukan yang kamu pimpin telah menhancurkan pos-pos kami.” Dia
berbicara dengan ekspresi penuh kekhawatiran, namun tiba-tiba sebuah peluru
bersarang di dadanya, dan dia terjatuh . Semua bingung melihat kejadian itu,
dalam beberapa saat tiba-tiba lima mobil tentara menerobos masuk ke lapangan
tempat aku akan dieksekusi.
Mereka adalah pasukan
dari markasku, mereka datang dalam jumlah besar dengan persenjataan yang
lengkap namun tidak secanggih senjata musuh. Terlihat olehku salah seorang
pasukanku yang ikut bertempur tadi malam di mobil paling depan, mungkin ia
berhasil kabur dan kembali ke arkas untuk melaporkan keberadaan kami Kolonel
Reyligh yang hadir dalam mimipiku beberapa hari yang lalu turun dari mobil dan
mendekatiku, beliau membuka ikatan tanganku sambil berkata, “Kamu adalah pemuda
yang berani nak, kami menaruh harapan untuk masa depan bangsa ini kepadamu.” Aku
tak kuasa menahan air mataku, karena seolah-olah beliau datang untuk bertempur mati-matian.
Setelah ikatan itu
terlepas aku mengambil sebuah senjata api dan sebuah bom waktu dari mobil
pasukan, tidak berselang lama lapangan itu sudah dipenuhi oleh pasukan musuh
yang jumlahnya ratusan. Aku berusaha mencari jalan keluar dari tempat itu untuk
membebaskan teman-temanku yang dipenjara tadi. Dengan berani aku menerobos ke
tengah sengitnya pertempuran dan akhirnya aku menemukan jalan keluarnya. Dari
luar lapangan terlihat olehku pasukan musuh dengan jumlah yang banyak mengepung
kolonel dan pasukannya dari segala sisi, sudah tidak harapan lagi untuk bisa
menyelamatkan diri bagi mereka, mereka pasti akan tertangkap atau dibunuh.
Aku terus berlari dan
memasuki tempat teman-temanku dipenjara tadi. Aku tidak melihat siapapun
disana, entah apa yang terjadi dengan teman-temanku. Aku keluar dari ruang
penjara dan kembali ke lapangan. Aku sangat terkejut, setelah kulihat dari luar
lapangan kolonel beserta pasukannya telah dikalahkan, beberapa dari mereka ada
yang ditangkap hidup-hidup dan sebagian besar gugur dalam pertempuran itu. Aku
berlari ke lapangan dan mencari kolonel Reyligh, aku melihat beliau tergeletak
berlumuran darah, beliau gugur di tengah pertempuran sebagai pahlawan sejati.
Dengan perasaan sedih aku mengangkat jenazah kolonel dan membawanya ke tempat
yang teduh. Kini aku tinggal sendiri, aku adalah satu-satunya yang tersisa dari
kelompok pejuang yang telah mempertahankan negaraku, semua pasukan dan para
atasanku sudah dikalahkan oleh musuh.
Aku tidak tahu, apa
yang harus aku lakukan, tetapi melihat teman-teman seperjuanganku tergeletak
berlumuran darah, aku tidak bisa menahan kemarahanku, aku berlari ke tengah
lapangan sambil menggempur pasukan musuh seorang diri dengan sebuah senjata
api. Langkahku terhenti di tengah lapangan, aku merasakan tubuhku sudah tidak
kuat lagi menahan luka tembak dari musuh.
Musuh sudah
mengepungku dari segala arah, dengan cepat aku mengambil bom waktu yang ada di
pinggang celanaku dan mengaktifkannya. Pikiranku sudah buyar, aku sudah tidak
kuat lagi untuk berdiri, aku merasakan pasuk an musuh menghentikan tembakannya
dan mendekatiku. Mereka menendang dan menginjak-ijakku, pandanganku sudah mulai
tidak jelas, namun masih terlihat olehku angka hitung mundur di layar digital
bom waktu yang ada ditanganku, aku terus menatap hitungan itu sembari
membacanya dalam hati, “…9..8..7..6..5..4..3..2..1….!!!!”
Langganan:
Postingan (Atom)