Pasukan
Terakhir
“Tiaraaaap!!
Berlindung di balik bebatuan!” teriak seorang kolonel yang bernama kolonel John
Reyligh kepada pasukannya. Suara
gencatan senjata api yang bergemuruh membuatku merasa ngeri, tapi aku tetap berlindung
dan membalas tembakan musuh sesuai dengan perintah pimpinanku. Di tengah
gelapnya medan pertempuran, aku berlari menuju ke tempat kolonel. Baru setengah
jalan, tiba-tiba sebuah peluru bersarang di kaki kananku. Aku terkapar di atas
medan perang yang berlumuran darah dan seketika itu pula, aku melihat peluru meriam
meledak tepat di tempat kolonel berlindung. Aku sangat terkejut dan berteriak,
“Tidaaaak!!”
Hah, ternyata semua
itu hanyalah mimpi burukku akibat bayang-bayang pertempuran besar lima hari
yang lalu di sebuah desa di pedalaman. Aku adalah seorang pasukan dari
sekelompok pejuang yang memperjuangkan tanah air dari belenggu penjajahan. Negaraku sudah berada dalam penjajahan semenjak
negara-negara besar mulai menjelajah dunia dan mencari daerah-daerah baru untuk
dimanfaatkan sumber alamnya, saat itu aku masih berumur enam tahun, tepat saat
aku mulai mengenyam pendidikan di sekolah tingkat dasar di desaku.
Ketika aku baru
berumur empat belas tahun aku dipanggil untuk mengenyam pendidikan kemiliteran
dengan anak-anak seumuranku. Negaraku krisis dalam segala hal sampai-sampai
menggunakan remaja seumuranku sebagai pasukan perang untuk bertempur melawan
penjajah. Selama kurang lebih empat tahun aku mengikuti pelatihan tersebut
sembari memperoleh pendidikan layaknya siswa sekolah menengah pertama atau
sekolah menengah atas.
Tidak
tanggung-tanggung, saat berumur dua puluh tahun aku sudah berpangkat sebagai
seorang letnan. Sebagai pemula tidak jarang aku ditugaskan oleh atasanku untuk
memimpin penggempuran terhadap pos-pos musuh di desa-desa. Sudah banyak pos-pos
musuh yang berhasil aku kalahkan bersama pasukanku.
Suatu hari, aku
memimpin sekitar empat puluh pasukan untuk melakukan penggempuran terhadap
pos-pos musuh di daerah pedesaan. Pasukan musuh sering menyiksa warga desa dan
memaksa mereka untuk melakukan pekerjaan sesuai keinginannya. Tidak sedikit
rakyat, terutama rakyat desa yang merasakan penderitaan karena kekejaman
tentara musuh. Aku beserta pasukanku berangkat sekitar pukul satu pagi. Dari
markas besar para pejuang yang terletak di daerah dataran tinggi, aku dan
pasukanku berjalan kearah tenggara sejauh delapan kilometer untuk mencapai desa
terdekat. Suasana desa tersebut sangat sunyi, tidak ada warga yang berani
beraktifitas, padahal hari sudah mulai terang, namun hanya suara hewan dan
pepohanan yang tertiup angin yang terdengar.
Sekitar pukul empat
pagi kami mulai berpencar dan mencari tempat masing-masing untuk melakukan
penyerangan sesuai dengan strategi yang telah kami rencanakan. Kami
mengelilingi sebuah pos pusat yang terletak di ujung timur desa, terlihat
puluhan tentara musuh yang berjaga di dalam bangunan yang terletak sekitar tiga
puluh meter di depan kami. Aba-aba penyerangan belum dimulai, namun keberadaan
kami sudah diketahui oleh musuh, karena musuh menggunakan anjing pelacak untuk
mencium keberadaan orang-orang yang
dekat dengan pos.
Tanpa ragu, aku
menembakkan senjataku kearah seorang pasukan yang sedang naik ke menara
pengintaian yang berada di depan pos, tembakkanku mengenainya, terlihat olehku
orang itu terjatuh dari tangga yang dipanjatnya. Pertempuran akhirnya meletus,
pasukanku yang terdiri dari empat puluh orang termasuk aku menggempur pos musuh
yang terdapat puluhan pasukan dengan persenjataan jauh lebih lengkap. Suara
gemuruh senjata api meramaikan suasana gelap yang sunyi itu. Hari sudah mulai
terang, cahaya matahari mulai terlihat di ufuk timur, pertempuran sudah semakin
reda, tembakkan kami sudah tak terbalas lagi, semua pasukan musuh sudah
terkalahkan, entah ada yang melarikan diri atau tidak, kami tidak tau pasti.
Kami mengambil semua senjata musuh yang tergeletak di tanah dan juga mengambil
makanan di pos mereka. Terhitung olehku sekitar tiga puluh tiga pasukan musuh
yang mati dalam pertempuran semalam, akan tetapi sebaliknya, tidak ada seorang
korbanpun di pasukanku, sebuah keberuntungan bagi kami bertempur di malam hari
karena kami terlatih untuk bertempur dalam suasana gelap.
Setelah setengah
perjalanan untuk kembali ke markas, kami menikmati makanan yang kami peroleh
dari musuh sambil berteduh di bawah pohon. Saat kami bergegas untuk melanjutkan
perjalanan kami, tiba-tiba empat mobil musuh yang mengangkut puluhan pasukan
dengan persenjataan lengkap datang ke arah kami, dengan segera kami mengambil
senjata dan mengambil posisi secara otomatis. Kami sangat panik, karena dari
arah berlawanan terlihat tiga mobil musuh dengan pasukan yang bersenjata
lengkap pula datang ke arah kami. Firasatku sangat buruk, kami sudah dikepung
dari segala arah, sudah dipastikan kami semua akan tertangkap.
Tanpa perlawanan dari
pasukanku, mereka menangkap kami dan membawa kami ke markas mereka. Tangan kami
diikat, senjata serta makanan kami diambil oleh mereka. Kami dimasukkan ke
sebuah rumah tahanan yang jaraknya sekitar lima belas kilometer dari markas
besar para pejuang. Teman-temanku dimasukkan ke dalam penjara, namun aku
sendiri di bawa ke sebuah ruangan yang cukup jauh dari tempat teman-temanku
berada. Markas itu sangat luas dan lengkap dengan persenjataan perang yang
canggih.
Di sebuah ruangan
yang cukup luas, mereka memaksaku untuk memberitahu keberadaan markas kami. Aku
tidak menjawab dengan sepatah kata pun, karena aku harus menjaga semua rahasia.
Beberapa saat kemudian salah seorang dari mereka membawaku keluar dari ruangan
itu. Aku keluar melalui lorong penjara tempat teman-temanku berada, sembari
melangkah aku menghitung jumlah mereka, entah apa yang terjadi jumlah kami yang
awalnya empat puluh orang kini hanya tinggal tiga puluh sembilan orang termasuk
aku.
Aku memikirkan hal
itu sepanjang jalan, hingga akhirnya aku tiba di sebuah lapangan luas, kalau
tidak salah itu adalah tempat eksekusi para tahanan. Tanganku diikat di sebuah
tiang yang berdiri tegak di tengah lapangan. Pasukan musuh datang
mengelilingiku dengan membawa senjata. Seorang pemimpin dari mereka mendekat ke
arahku dan berbicara dengan bahasa negaraku, “Kamu harus dihukum mati, karena
kamu dan pasukan yang kamu pimpin telah menhancurkan pos-pos kami.” Dia
berbicara dengan ekspresi penuh kekhawatiran, namun tiba-tiba sebuah peluru
bersarang di dadanya, dan dia terjatuh . Semua bingung melihat kejadian itu,
dalam beberapa saat tiba-tiba lima mobil tentara menerobos masuk ke lapangan
tempat aku akan dieksekusi.
Mereka adalah pasukan
dari markasku, mereka datang dalam jumlah besar dengan persenjataan yang
lengkap namun tidak secanggih senjata musuh. Terlihat olehku salah seorang
pasukanku yang ikut bertempur tadi malam di mobil paling depan, mungkin ia
berhasil kabur dan kembali ke arkas untuk melaporkan keberadaan kami Kolonel
Reyligh yang hadir dalam mimipiku beberapa hari yang lalu turun dari mobil dan
mendekatiku, beliau membuka ikatan tanganku sambil berkata, “Kamu adalah pemuda
yang berani nak, kami menaruh harapan untuk masa depan bangsa ini kepadamu.” Aku
tak kuasa menahan air mataku, karena seolah-olah beliau datang untuk bertempur mati-matian.
Setelah ikatan itu
terlepas aku mengambil sebuah senjata api dan sebuah bom waktu dari mobil
pasukan, tidak berselang lama lapangan itu sudah dipenuhi oleh pasukan musuh
yang jumlahnya ratusan. Aku berusaha mencari jalan keluar dari tempat itu untuk
membebaskan teman-temanku yang dipenjara tadi. Dengan berani aku menerobos ke
tengah sengitnya pertempuran dan akhirnya aku menemukan jalan keluarnya. Dari
luar lapangan terlihat olehku pasukan musuh dengan jumlah yang banyak mengepung
kolonel dan pasukannya dari segala sisi, sudah tidak harapan lagi untuk bisa
menyelamatkan diri bagi mereka, mereka pasti akan tertangkap atau dibunuh.
Aku terus berlari dan
memasuki tempat teman-temanku dipenjara tadi. Aku tidak melihat siapapun
disana, entah apa yang terjadi dengan teman-temanku. Aku keluar dari ruang
penjara dan kembali ke lapangan. Aku sangat terkejut, setelah kulihat dari luar
lapangan kolonel beserta pasukannya telah dikalahkan, beberapa dari mereka ada
yang ditangkap hidup-hidup dan sebagian besar gugur dalam pertempuran itu. Aku
berlari ke lapangan dan mencari kolonel Reyligh, aku melihat beliau tergeletak
berlumuran darah, beliau gugur di tengah pertempuran sebagai pahlawan sejati.
Dengan perasaan sedih aku mengangkat jenazah kolonel dan membawanya ke tempat
yang teduh. Kini aku tinggal sendiri, aku adalah satu-satunya yang tersisa dari
kelompok pejuang yang telah mempertahankan negaraku, semua pasukan dan para
atasanku sudah dikalahkan oleh musuh.
Aku tidak tahu, apa
yang harus aku lakukan, tetapi melihat teman-teman seperjuanganku tergeletak
berlumuran darah, aku tidak bisa menahan kemarahanku, aku berlari ke tengah
lapangan sambil menggempur pasukan musuh seorang diri dengan sebuah senjata
api. Langkahku terhenti di tengah lapangan, aku merasakan tubuhku sudah tidak
kuat lagi menahan luka tembak dari musuh.
Musuh sudah
mengepungku dari segala arah, dengan cepat aku mengambil bom waktu yang ada di
pinggang celanaku dan mengaktifkannya. Pikiranku sudah buyar, aku sudah tidak
kuat lagi untuk berdiri, aku merasakan pasuk an musuh menghentikan tembakannya
dan mendekatiku. Mereka menendang dan menginjak-ijakku, pandanganku sudah mulai
tidak jelas, namun masih terlihat olehku angka hitung mundur di layar digital
bom waktu yang ada ditanganku, aku terus menatap hitungan itu sembari
membacanya dalam hati, “…9..8..7..6..5..4..3..2..1….!!!!”
0 komentar:
Posting Komentar