Kamis, 10 November 2016

Rambutku Hanya Dipotong Olehmu






RAMBUTKU HANYA DIPOTONG OLEHMU



I Nyoman Buda Arimbawa



Man… man… payu?”. Pagi-pagi sekali Gede Judi mendatangi rumah temannya dan memanggilnya dengan suara sedang. mai nake jani, rage be ngabe gunting” sahut I Nyoman dengan logat kedaerahan yang kental yang datang dengan sebuah ember yang lengkap dengan peralatan mandi ditambah sisir dan gunting. “medaar malu De, ento ade jukut be siap..!”. Sapa memene I Nyoman yang menawarkan Gede Judi untuk makan. “Nah..!” sahut Gede Judi, yang sesungguhnya itu adalah penolakkan secara halus. Tanpa berlama-lama mereka langsung menuju rumah Gede Judi yang letaknya satu jalur dan satu tempek dengan rumah I Nyoman. Pagi itu juga kakak I Nyoman berangkat bekerja ke kota. Tepat kemarin malam mereka datang dari setra mengikuti upacara ngaben karena tetangga I Nyoman meninggal kemarin sore.

Mereka telah sampai di rumah Gede Judi. Terlihat pekaknya I Nyoman ngempu kumpinya yang baru bisa merangkak. Terdengar dari kejauhan “pidan mulih man…?” tanya Wa Sunia kepada I Nyoman. Wa Sunia adalah kakak dari bapaknya I Nyoman yang menikah ke rumah Gede Judi jauh sebelum I Nyoman lahir. “be i telun wa..!” sahut I Nyoman. Gede Judi langsung membuka bajunya, membasahi rambut yang panjangnya sebahu dan duduk di tangga meten daja. sepedang De?” tanya I Nyoman dengan gunting di tangan kanan dan sisir di tangan kirinya. “Engkenang dadi, terserah keneh nyomane..” sahut Gede Judi pasrah. I Nyoman pun mulai memangkas rambut Gede Judi yang terakhir kali juga dipangkas oleh I Nyoman sendiri sekitar sembilan bulan yang lalu. Gede Judi membiarkan rambutnya tumbuh sampai seleher. Seolah-olah ia tidak mengijinkan orang lain memotong rambutnya selain I Nyoman.

Gede Judi adalah nama panggilan dari I Gede Eka Saputra. Dipanggil Gede Judi lantaran ayahnya adalah seorang penjudi berkelas pada masanya. Sejak kecil ia tinggal bersama keluarga kecilnya dengan seorang adik yang dipanggil Kadek Togel. Nama aslinya adalah Kadek Riki. Hidup dengan suami seorang penjudi membuat ibunya Gede Judi serba kesusahan. Sang suami sering marah-marah kalau uangnya habis karena kalah di arena tajen. Tak jarang ibunya Gede Judi dipukul dengan benda-benda keras dan tajam. Dengan hati dan pikiran yang terluka, sang ibu pun tega pergi dari rumah meninggalkan anak-anak dan suaminya yaitu Gede Judi yang masih duduk di bangku kelas 2 SD dan Kadek Togel yang baru berumur 4 tahun serta sang suaminya Wayan Neraka yang terselubung dalam kabut penyesalan yang sangat dalam.

Dua bersaudara itu akhirnya dititip oleh ayahnya kepada sang kakek di sebuah desa di pedalaman kintamani. Gede Judi bilang desa itu bernama desa Panggung. Bertahun-tahun ia menjalani hidup disana, sehingga ia menjadi terbiasa dengan kegiatan harian masyarakat setempat. Ngalap cengkeh, cokelat, delima, dan berbagai jenis tanaman kebun lainnya. Ia juga melanjutkan pendidikan sekolah dasarnya disana. Konon ia adalah bintang kelas sepanjang masa. Sejak mengikuti pendidikan di Taman Kanak-kanak ia memang dikenal sebagai siswa cerdas dan menjadi juara kelas saat kelulusan. Ketika SD ia masih kalah dengan teman sebangkunya yakni I Nyoman sendiri. Otaknya sedikit unggul secara numerik, namun ia kalah telak dengan kemampuan verbal yang dimiliki I Nyoman yang tidak mengenyam pendidikan Taman Kanak-kanak. Ia tak mampu berimajinasi dan tak mampu menjiwai seni.

Setelah empat tahun, ia kembali. Pulang ke rumah asalnya. Ia berbeda, lingkungan tempat ia tinggal selama ini telah mengubah mental dan cara berpikirnya. Ia telat dibandingkan anak-anak lainnya. Kemampuan komunikasinya sama sekali tak terlihat, ia hanya bisa diam dan menjawab pertanyaan dengan tidak jelas. Ia hanya bicara kepada teman sebaya yang memang akrab dengannya dari dulu termasuk I Nyoman. Ia kembali melanjutkan pendidikannya di Sekolah Dasar yang dulu, tempat ia bersekolah waktu kelas 1. Sekarang sudah kelas 5 SD. Kemampuannya tak seperti yang diharapkan. Ia terlihat lemah. Sangat lemah. Entahlah apa penyebabnya, apakah tekanan mental karena lingkungan baru, atau mungkin kualitas pendidikan yang berbeda dari tempat tinggalnya di daerah kintamani  itu, atau tekanan dari orang tuanya, tidak ada yang pernah tahu. Karena tak seorangpun dapat mendengar ceritanya dengan jelas dan tepat.

Beberapa tahun kemudian sang adik menyusul pulang. Ia kembali dan melanjutkan sekolah di tempat yang sama dengan kakaknya. Gede Judi sudah lulus dari sekolah dasar begitu juga dengan I Nyoman. Sekarang mereka akan melanjutkan bersekolah di sebuah sekolah menengah di desa sebelah yaitu  desa Susut. Dari awal pendaftaran sampai resmi menjadi siswa mereka selalu bersama, melewati sungai, jembatan, dan kebun salak milik Wa Sunia dan warga desa setempat, mereka berjalan kaki menuju sekolah tempat mereka menuntut ilmu. Mereka tak peduli dan tak terpengaruh dengan teman-temannya yang mengendarai sepeda motor, mereka tidak pernah malu akan ketidakmampuan mereka, karena mereka adalah orang-orang optimis untuk meraih mimpi. Mereka mengawalinya bersama, dan menjalaninya bersama pula. Tak jarang mereka berbagi bekal yang mereka bawa. Mereka sering telat sampai di sekolah. Banyak hal yang ia lakukan di tengah perjalanan menuju sekolah layaknya anak-anak pada masanya. Mereka sering mencari buah durian yang telah jatuh dari pohonnya, mencari salak ataupun cokelat di pinggir jalan yang mereka lalui. Entah itu bentuk dari pencurian atau tidak, tidak ada yang pernah mempermasalahkannya.

Gede Judi punya masa lalu yang kelam. Dulu bersama adiknya ia sering mencuri uang di warung-warung dekat rumahnya. Maklum, tak ada yang memberi mereka perhatian dan kasih sayang. Tidak ada yang memberinya pendidikan moral dan melatih mentalnya. Ayahnya masih sibuk bekerja sebagai tukang ukir di tempat yang jauh dari rumah. Memang benar adanya bahwa perhatian sang ayah terhadap kedua anaknya tidak begitu besar.

Tiga tahun berlau, Gede Judi dan I Nyoman telah lulus dari sekolah menengah pertama mereka. I Nyoman melanjutkan ke sebuah sekolah layanan khusus yang menerima siswa dari keluarga kurang mampu. Namun sebaliknya, karena minimnya dukungan dari orang tua dan terkendala keadaan ekonomi, Gede Judi tidak mampu melanjutkan pendidikannya ke tingkat sekolah menengah atas. Ia memutuskan untuk belajar bekerja sebagai tukang ukir bersama orang-orang di desanya. Banyak kenangan yang tersimpan dalam kebersamaan mereka. Itulah yang membuat mereka tak bisa lupa satu sama lain.

Tak terasa sudah sekitar satu jam berlalu, rambut Gede Judi yang panjang dan tak beraturan membuat I Nyoman perlu waktu lama untuk membuatnya pendek dan rapi. Pekak I Nyoman datang menghampiri mereka, “tolong potongkan rambut pekak juga, sudah terasa panjang. Terakhir kali rambut pekak dipotong oleh Nyoman tiga bulan yang lalu…!!”. I Nyoman langsung bergegas untuk memotong rambut pekaknya. I Nyoman pulang ke rumah pada hari minggu, tepat tiga hari yang lalu. Ia bersekolah di Kubutambahan, Buleleng. Sudah dua tahun ia tinggal di asrama, di Kubutambahan.

Sembari memotong rambut I Pekak, banyak warga desa yang satu kawitan dengan Wa Sunia sembahyang ke sanggah di rumahnya Wa Sunia. Satu persatu mereka menyapa sambil menawarkan lungsuran. Hari ini adalah Galungan. Entah apa yang I Nyoman pikirkan, secara tidak sengaja ia melukai kulit leher pekaknya yang sudah keriput dan rawan. “Aduh, bakat gunting kulit Pekak’e. pesu getih Kak.” Kata I Nyoman dengan penuh penyesalan. “Nah sing kenken, kulit anak suba tua” sahut I Pekak menenangkan cucunya. Tak terasa, hari sudah semakin panas, seusai memotong rambut I Pekak, I Nyoman dan Gede Judi langsung bergegas untuk meninggalkan rumah dan menuju ke tempat pemandian umum milik warga desa. Wa Sunia memanggil Gede Judi dan menitip botol air mineral untuk diisi ulang. Mereka berangkat, ke tempat yang penuh kenangan. Satu-satunya jalur yang selalu mereka lalui saat SMP, kini bagaikan hutan belantara, rumput liar tumbuh menjulang, sudah tidak ada lagi yang melalui tempat itu. Di sekitar tempat pemandian ada sungai yang mengalir deras. Ya, sesungguhnya sungai itulah tujuannya.





                                     

Pasukan Terakhir




Pasukan Terakhir

“Tiaraaaap!! Berlindung di balik bebatuan!” teriak seorang kolonel yang bernama kolonel John Reyligh  kepada pasukannya. Suara gencatan senjata api yang bergemuruh membuatku merasa ngeri, tapi aku tetap berlindung dan membalas tembakan musuh sesuai dengan perintah pimpinanku. Di tengah gelapnya medan pertempuran, aku berlari menuju ke tempat kolonel. Baru setengah jalan, tiba-tiba sebuah peluru bersarang di kaki kananku. Aku terkapar di atas medan perang yang berlumuran darah dan seketika itu pula, aku melihat peluru meriam meledak tepat di tempat kolonel berlindung. Aku sangat terkejut dan berteriak, “Tidaaaak!!”

Hah, ternyata semua itu hanyalah mimpi burukku akibat bayang-bayang pertempuran besar lima hari yang lalu di sebuah desa di pedalaman. Aku adalah seorang pasukan dari sekelompok pejuang yang memperjuangkan tanah air dari belenggu penjajahan. Negaraku sudah berada dalam penjajahan semenjak negara-negara besar mulai menjelajah dunia dan mencari daerah-daerah baru untuk dimanfaatkan sumber alamnya, saat itu aku masih berumur enam tahun, tepat saat aku mulai mengenyam pendidikan di sekolah tingkat dasar di desaku.

Ketika aku baru berumur empat belas tahun aku dipanggil untuk mengenyam pendidikan kemiliteran dengan anak-anak seumuranku. Negaraku krisis dalam segala hal sampai-sampai menggunakan remaja seumuranku sebagai pasukan perang untuk bertempur melawan penjajah. Selama kurang lebih empat tahun aku mengikuti pelatihan tersebut sembari memperoleh pendidikan layaknya siswa sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas.

Tidak tanggung-tanggung, saat berumur dua puluh tahun aku sudah berpangkat sebagai seorang letnan. Sebagai pemula tidak jarang aku ditugaskan oleh atasanku untuk memimpin penggempuran terhadap pos-pos musuh di desa-desa. Sudah banyak pos-pos musuh yang berhasil aku kalahkan bersama pasukanku.

Suatu hari, aku memimpin sekitar empat puluh pasukan untuk melakukan penggempuran terhadap pos-pos musuh di daerah pedesaan. Pasukan musuh sering menyiksa warga desa dan memaksa mereka untuk melakukan pekerjaan sesuai keinginannya. Tidak sedikit rakyat, terutama rakyat desa yang merasakan penderitaan karena kekejaman tentara musuh. Aku beserta pasukanku berangkat sekitar pukul satu pagi. Dari markas besar para pejuang yang terletak di daerah dataran tinggi, aku dan pasukanku berjalan kearah tenggara sejauh delapan kilometer untuk mencapai desa terdekat. Suasana desa tersebut sangat sunyi, tidak ada warga yang berani beraktifitas, padahal hari sudah mulai terang, namun hanya suara hewan dan pepohanan yang tertiup angin yang terdengar.

Sekitar pukul empat pagi kami mulai berpencar dan mencari tempat masing-masing untuk melakukan penyerangan sesuai dengan strategi yang telah kami rencanakan. Kami mengelilingi sebuah pos pusat yang terletak di ujung timur desa, terlihat puluhan tentara musuh yang berjaga di dalam bangunan yang terletak sekitar tiga puluh meter di depan kami. Aba-aba penyerangan belum dimulai, namun keberadaan kami sudah diketahui oleh musuh, karena musuh menggunakan anjing pelacak untuk mencium keberadaan orang-orang  yang dekat dengan pos.

Tanpa ragu, aku menembakkan senjataku kearah seorang pasukan yang sedang naik ke menara pengintaian yang berada di depan pos, tembakkanku mengenainya, terlihat olehku orang itu terjatuh dari tangga yang dipanjatnya. Pertempuran akhirnya meletus, pasukanku yang terdiri dari empat puluh orang termasuk aku menggempur pos musuh yang terdapat puluhan pasukan dengan persenjataan jauh lebih lengkap. Suara gemuruh senjata api meramaikan suasana gelap yang sunyi itu. Hari sudah mulai terang, cahaya matahari mulai terlihat di ufuk timur, pertempuran sudah semakin reda, tembakkan kami sudah tak terbalas lagi, semua pasukan musuh sudah terkalahkan, entah ada yang melarikan diri atau tidak, kami tidak tau pasti. Kami mengambil semua senjata musuh yang tergeletak di tanah dan juga mengambil makanan di pos mereka. Terhitung olehku sekitar tiga puluh tiga pasukan musuh yang mati dalam pertempuran semalam, akan tetapi sebaliknya, tidak ada seorang korbanpun di pasukanku, sebuah keberuntungan bagi kami bertempur di malam hari karena kami terlatih untuk bertempur dalam suasana gelap.

Setelah setengah perjalanan untuk kembali ke markas, kami menikmati makanan yang kami peroleh dari musuh sambil berteduh di bawah pohon. Saat kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan kami, tiba-tiba empat mobil musuh yang mengangkut puluhan pasukan dengan persenjataan lengkap datang ke arah kami, dengan segera kami mengambil senjata dan mengambil posisi secara otomatis. Kami sangat panik, karena dari arah berlawanan terlihat tiga mobil musuh dengan pasukan yang bersenjata lengkap pula datang ke arah kami. Firasatku sangat buruk, kami sudah dikepung dari segala arah, sudah dipastikan kami semua akan tertangkap.

Tanpa perlawanan dari pasukanku, mereka menangkap kami dan membawa kami ke markas mereka. Tangan kami diikat, senjata serta makanan kami diambil oleh mereka. Kami dimasukkan ke sebuah rumah tahanan yang jaraknya sekitar lima belas kilometer dari markas besar para pejuang. Teman-temanku dimasukkan ke dalam penjara, namun aku sendiri di bawa ke sebuah ruangan yang cukup jauh dari tempat teman-temanku berada. Markas itu sangat luas dan lengkap dengan persenjataan perang yang canggih.

Di sebuah ruangan yang cukup luas, mereka memaksaku untuk memberitahu keberadaan markas kami. Aku tidak menjawab dengan sepatah kata pun, karena aku harus menjaga semua rahasia. Beberapa saat kemudian salah seorang dari mereka membawaku keluar dari ruangan itu. Aku keluar melalui lorong penjara tempat teman-temanku berada, sembari melangkah aku menghitung jumlah mereka, entah apa yang terjadi jumlah kami yang awalnya empat puluh orang kini hanya tinggal tiga puluh sembilan orang termasuk aku.

Aku memikirkan hal itu sepanjang jalan, hingga akhirnya aku tiba di sebuah lapangan luas, kalau tidak salah itu adalah tempat eksekusi para tahanan. Tanganku diikat di sebuah tiang yang berdiri tegak di tengah lapangan. Pasukan musuh datang mengelilingiku dengan membawa senjata. Seorang pemimpin dari mereka mendekat ke arahku dan berbicara dengan bahasa negaraku, “Kamu harus dihukum mati, karena kamu dan pasukan yang kamu pimpin telah menhancurkan pos-pos kami.” Dia berbicara dengan ekspresi penuh kekhawatiran, namun tiba-tiba sebuah peluru bersarang di dadanya, dan dia terjatuh . Semua bingung melihat kejadian itu, dalam beberapa saat tiba-tiba lima mobil tentara menerobos masuk ke lapangan tempat aku akan dieksekusi.

Mereka adalah pasukan dari markasku, mereka datang dalam jumlah besar dengan persenjataan yang lengkap namun tidak secanggih senjata musuh. Terlihat olehku salah seorang pasukanku yang ikut bertempur tadi malam di mobil paling depan, mungkin ia berhasil kabur dan kembali ke arkas untuk melaporkan keberadaan kami Kolonel Reyligh yang hadir dalam mimipiku beberapa hari yang lalu turun dari mobil dan mendekatiku, beliau membuka ikatan tanganku sambil berkata, “Kamu adalah pemuda yang berani nak, kami menaruh harapan untuk masa depan bangsa ini kepadamu.” Aku tak kuasa menahan air mataku, karena seolah-olah beliau datang untuk bertempur mati-matian.

Setelah ikatan itu terlepas aku mengambil sebuah senjata api dan sebuah bom waktu dari mobil pasukan, tidak berselang lama lapangan itu sudah dipenuhi oleh pasukan musuh yang jumlahnya ratusan. Aku berusaha mencari jalan keluar dari tempat itu untuk membebaskan teman-temanku yang dipenjara tadi. Dengan berani aku menerobos ke tengah sengitnya pertempuran dan akhirnya aku menemukan jalan keluarnya. Dari luar lapangan terlihat olehku pasukan musuh dengan jumlah yang banyak mengepung kolonel dan pasukannya dari segala sisi, sudah tidak harapan lagi untuk bisa menyelamatkan diri bagi mereka, mereka pasti akan tertangkap atau dibunuh.

Aku terus berlari dan memasuki tempat teman-temanku dipenjara tadi. Aku tidak melihat siapapun disana, entah apa yang terjadi dengan teman-temanku. Aku keluar dari ruang penjara dan kembali ke lapangan. Aku sangat terkejut, setelah kulihat dari luar lapangan kolonel beserta pasukannya telah dikalahkan, beberapa dari mereka ada yang ditangkap hidup-hidup dan sebagian besar gugur dalam pertempuran itu. Aku berlari ke lapangan dan mencari kolonel Reyligh, aku melihat beliau tergeletak berlumuran darah, beliau gugur di tengah pertempuran sebagai pahlawan sejati. Dengan perasaan sedih aku mengangkat jenazah kolonel dan membawanya ke tempat yang teduh. Kini aku tinggal sendiri, aku adalah satu-satunya yang tersisa dari kelompok pejuang yang telah mempertahankan negaraku, semua pasukan dan para atasanku sudah dikalahkan oleh musuh.

Aku tidak tahu, apa yang harus aku lakukan, tetapi melihat teman-teman seperjuanganku tergeletak berlumuran darah, aku tidak bisa menahan kemarahanku, aku berlari ke tengah lapangan sambil menggempur pasukan musuh seorang diri dengan sebuah senjata api. Langkahku terhenti di tengah lapangan, aku merasakan tubuhku sudah tidak kuat lagi menahan luka tembak dari musuh.

Musuh sudah mengepungku dari segala arah, dengan cepat aku mengambil bom waktu yang ada di pinggang celanaku dan mengaktifkannya. Pikiranku sudah buyar, aku sudah tidak kuat lagi untuk berdiri, aku merasakan pasuk an musuh menghentikan tembakannya dan mendekatiku. Mereka menendang dan menginjak-ijakku, pandanganku sudah mulai tidak jelas, namun masih terlihat olehku angka hitung mundur di layar digital bom waktu yang ada ditanganku, aku terus menatap hitungan itu sembari membacanya dalam hati, “…9..8..7..6..5..4..3..2..1….!!!!”
 
biz.